Langgar Al Yahya Kampung Gandekan Berdiri 1815, Lho...

Jejak perkembangan Islam di Kota Semarang dibuktikan dengan berdirinya tempat ibadah baik itu berupa masjid maupun langgar atau musholla yang berusia tua dan kini masih kokoh berdiri. Salah satunya yang ada di Jalan Gandhekan Nomor 15, Kecamatan Semarang Tengah ini.

PERJALANAN Semarang menjadi kota metropolitan menjadi seperti sekarang ini tidak lepas dari sejarah masa lalu. Pada masa Medang Kawulan sampai Majapahit kawasan Semarang tidak dikenal sama sekali.
Akan tetapi, setelah masa Demak–Pajang, Semarang berfungsi dan dikenal luas. Pada masa Demak–Pajang dikenal beberapa wilayah Semarang yang merupakan pedukuhan terbesar. Seperti Inderono (Gisik Drono), Tirang Amper, Jurang Suru, Lebuapi, Tinjomoyo, Wotgalih (Wotgaleh), Gajah Mungkur, Sejonilo dan Gedung Batu.
Pedukuhan–pedukuhan itu menjadi pemukiman yang dikuasai Ajar-ajar (pimpinan ritus Hindu) dan terletak kira-kira di sepanjang Kali Semarang sampai hulunya. Kemudian, pada masa permulaan pemerintahan kerajaan Demak, Kyai Pandang Arang (Sunan Tembayat) ditunjuk menjadi Bupati Semarang pertama dan meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran agama Islam pada 1418. Fungsi kawasan Semarang pun menjadi kawasan perniagaan kerajaan Demak.
Alhasil, perkembangan Islam pun masih tersimpan hingga kini berupa bangunan masjid maupun musholla yang menjadi saksi, Islam berkembang di Kota Semarang. Selain Masjid Jami' Pekojan, Masjid Agung Kauman, Masjid Layur, Masjid Taqwa Sekayu, ada pula Langgar Gandekan atau Musholla Al Yahya yang ada di Jalan Gandekan Nomor 15, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Semarang Tengah.
Di tengah kampung yang didominasi warga Tionghoa, langgar ini telah berusia 200 tahun lebih. Langgar Al Yahya yang biasa disebut oleh warga setempat sebagai Langgar Gandhekan ini merupakan peninggalan tuan tanah kaya, Tasripin.
Saya pun berkesempatan shalat Dhuhur berjamaah yang diimami oleh Ketua Takmir Langgar Al Yahya, H Marsono. Usai shalat, sesepuh Kampung Gandekan Kasmidi (65) dan Ketua RT 1 RW 7 Sugito pun memberikan waktu untuk berbincang.
''Kalau menurut sejarah, langgar ini berdiri pada 1815 jaman Tasripin. Yang membangun muridnya Sunan Kalijaga. Baru kemudian pada 1820, membangun mushala di Kampung Kulitan yang kini menjadi Masjid Taqwa Kulitan,'' tutur Kasmidi.
Kasmidi yang juga Ketua RW 7 menjelaskan, arsitektur langgar mirip dengan Masjid Demak. Atapnya bertingkat tiga, ada ukiran masjid Demak di pintu utama, dan mustaka langgar berbentuk seperti candi Hindu berbahan tembaga.
Temboknya tebal, kayu sebagai penyusun kusen, pintu, dan jendela. Bahkan lantainya terbuat dari jajaran kayu jati tua. Sehingga, ketika berjalan di ruang utama, menimbulkan suara ketukan khas.
''Dulu pernah ada orang yang hendak membeli kayu jati lantai dasar langgar dan akan menggantinya dengan keramik, tetapi tidak kami ijinkan,'' tandasnya.
Daun jendela model panjang pun dipasang kaca berwarna bening, merah, kuning dan hijau. Di lantai atas, yang juga tersusun dari papan kayu jati, terlihat beberapa aset milik takmir.
Kaligrafi berbentuk tulisan Arab Allah dan Muhammad menempel di atas pengimaman. Di depan langgar, juga terdapat sumur yang diperkirakan dibuat bersamaan dengan langgar berdiri.
Langgar dengan ukuran 12 meter kali 6 meter berbentuk panggung itu pun menurut Sugito sedang dalam proses pengajuan kepada Pemerintah Kota Semarang untuk ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Akan tetapi, pihaknya saat ini masih kesulitan merunut surat dan status tanah.
''Bangunan ini masih asli, kami hanya menambah keramik di sekeliling dinding, untuk mengurangi kelembaban dan mengganti genting yang pecah. Genting asli masih kami simpan di lantai bawah. Kami butuh bantuan untuk memperbaiki tembok bagian luar yang sudah mengelupas,'' ujar Sugito.
Sebagai tempat ibadah yang menjadi saksi perkembangan Islam di Semarang dan berdiri di tengah komunitas Tionghoa yang begitu kental, beberapa warga di luar Gandekan pun mengaku "adem" ketika beribadah di langgar itu.
''Meski berdiri di tengah komunitas Tionghoa, tidak ada sentimen apapun, yang ada hanya saling menghormati dan toleransi yang tinggi. Saya pun merasa adem di langgar ini. Saya lebih sering shalat Dhuhur disini,'' kata Marsudi (40), karyawan salah satu usaha di Jalan MT Haryono yang juga warga Sayung, Demak itu, kemarin. (KS)

Comments